Sabtu, 25 Juni 2011

WACANA CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) DALAM WEBSITE PERUSAHAAN




LATAR BELAKANG
Tanggung jawab perusahaan atau corporate social responsibility (CSR) kini menjadi isu utama di dunia bisnis. CSR telah dianggap sebagai penanda penting yang harus melekat dan dimiliki oleh perusahaan, sehingga perusahaan pun berlomba menyatakan diri telah melaksanakan CSR. Website perusahaan merupakan salah satu media yang banyak digunakan untuk menampilkan klaim informasi terkait aktivitas tanggung jawab sosial perusahaan.
Dalam konteks public relations, komunikasi CSR akan memberi manfaat kepada perbaikan citra perusahaan dan idealnya, memberikan akses kepada publik untuk dapat melakukan verifikasi dan memberi masukan atau kritik bagi pengembangan program kedepan (Wilcox, 2006; Tanaya, 2004). Publikasi juga bertujuan untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas perusahaan (Amahorseya, 2007). Namun sayangnya, berbagai citra dan klaim CSR yang ditampilkan tersebut tak selalu simetris dengan realitas yang ada.


Penelitian ini melihat praktek wacana public relations melalui website secara kritis serta memberikan kritiknya terhadap cara-cara komunikasi yang digunakan oleh perusahaan dalam menyampaikan klaim tanggung jawab sosialnya serta mengidealkan sebuah transformasi aktivitas public relations perusahaan pertambangan yang memang seperti disebut penelitian Jahja (2006), rentan dengan permasalahan sosial dan lingkungan
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan diatas, penelitian ini memfokuskan pada : Bagaimana strategi wacana yang terdiri dari elemen tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik serta retorik dalam website ketiga perusahaan digunakan untuk menggambarkan tanggung jawab sosial perusahaan/CSR dalam tiga website perusahaan pertambangan di Indonesia? Bagaimana kaitan wacana CSR yang ditampilkan dalam website dengan konteks sosial yang ada? Bagaimana ketiga perusahaan memaknai tanggung jawab sosialnya dalam kerangka triple bottom line dan model piramida Carrol? Bagaimana komunikasi dengan stakeholders dalam konteks CSR berfungsi hegemonik membangun citra perusahaan, serta bagaimana Website perusahaan digunakan untuk mendukung upaya tersebut?

KAJIAN PUSTAKA
Hamad (2004) menyatakan bahwa setiap tindakan komunikasi adalah suatu Discourse (dengan D besar). Dalam pandangan communication as Discourse ini, komunikasi dilakukan dalam rangka menciptakan “kenyataan lain” atau “kenyataan kedua” dalam bentuk wacana (discourse) dari “kenyataan yang pertama”. Cara yang ditempuh dalam pembentukan wacana (realitas kedua) itu adalah sebuah proses yang disebut konstruksi realitas  atau construction of reality.
Mengikuti pandangan Hikam (dalam Eryanto, 2001:5-6), analisis wacana dapat dibedakan dalam tiga macam, yaitu wacana positivis, wacana konstruktivis dan wacana kritis. Analisis wacana kritis sebenarnya mengoreksi pandangan konstruktivisme yang masih belum menyentuh proses produksi dan reproduksi makna yang terjadi secara historis maupun institusional. Bahasa disini tidak dipahami sebagai medium netral yang terletak diluar diri pembicara, tetapi dipahami sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subyek tertentu, tema-tema wacana tertentu maupun strategi-strategi didalamnya, serta dipakai untuk membongkar kuasa yang ada dalam setiap proses berbahasa. Dalam analisis wacana kritis (critical discourse analysis), wacana dilihat sebagai bentuk praktek sosial  dimana melalui wacana kelompok sosial yang ada saling bertarung dan mengajukan versinya masing-masing.
Dalam praktek berwacana tersebut, secara kritis Habermas mengembangkan teori tindakan komunikasinya dengan mengemukakan bahwa :
Setiap komunikasi yang sehat adalah komunikasi dimana setiap partisipan bebas untuk menentang klaim-klaim tanpa ketakutan akan koersi, intimidasi dan sebagainya dan dimana tiap partisipan memiliki kesempatan yang sama untuk bicara, membuat keputusan, self-presentations, klaim normatif dan menentang pendapat partisipan lain. (Adian, 2001 :79)

Teori Habermas ini sejalan dengan model two way communications dalam public relations yang mengidealkan komunikasi dialogis antara perusahaan dengan stakeholders. Dalam konteks CSR model ini mutlak dibutuhkan sehingga pelaksanaan CSR tidak hanya berdasar apa yang diinginkan oleh perusahaan, tetapi juga mendengar apa yang diharapakan oleh publik. Sayangnya, public relations alih-alih membangun dialog, seringkali berada pada fungsi menghegemoni publik.
Konsep hegemoni dipopulerkan ahli filsafat politik Italia, Antonio Gramsci, yang berpendapat bahwa kekuatan dan dominasi kapitalis tidak hanya melalui dimensi material dari sarana ekonomi dan relasi produksi, tetapi juga kekuatan (force) dan hegemoni. Jika yang pertama menggunakan daya paksa agar orang mengikuti sebuah nilai-nilai tertentu maka hegemoni meliputi perluasan dan pelestarian ‘kepatuhan aktif’ (secara sukarela) dari kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelas penguasa.
Habermas (dalam German, 1995:280) menyatakan public relations merupakan salah satu alat hegemoni yang berkontribusi pada terbentuknya kesadaran palsu masyarakat modern. Teori kritis berupaya mengekspose distorsi dalam ruang publik tersebut, kesadaran palsu sehingga mengakhiri dominasi suara korporat dalam ruang publik. Dialog dalam ruang publik sendiri banyak terjadi distorsi dikarenakan ketidakmerataan distribusi kekuatan, informasi dan akses kepada organisasi sehingga membuat dialog tidak seimbang dan memperkuat dominasi.
CSR pada umumnya dapat dipahami sebagai upaya perusahaan untuk dapat menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, lingkungan dan sosial (triple bottom line) di mana pada saat yang bersamaan harus dapat memenuhi tidak hanya keinginan shareholder tetapi juga stakeholder. Carrol (1991) mengembangkan konsep Piramida Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang teridiri atas empat jenjang yaitu ”make a profit, obey the law, be ethical, and be a good corporate citizen” (Carrol, 1999: 43).
Saat kini terdapat beberapa pendapat mengenai CSR. Perbedaan ini bermuara pada tiga ideologi yang saling memperjuangkan dan mendominasi definisi dan praktik CSR di arena publik. Ketiga ideologi ini adalah  (1) the business of business is business, (2) corporate voluntarism dan (3) corporate involuntarism (Achwan, 2006).
World Wide Web atau yang juga dikenal dengan www atau web merupakan salah satu fitur utama internet yang salah satu karakter sekaligus kelebihannya adalah potensi interaktivitasnya. Severin & Tankard (2005) mendefinisikan Interaktivitas sebagai ”tingkatan dimana pada proses komunikasi para partisipan memiliki kontrol terhadap peran, dan dapat bertukar peran, dalam dialog mutual mereka.”  Menurutnya, kata kunci interaktivitas adalah adanya kesempatan komunikasi dua arah yang ditawarkan oleh website.
Dalam hal mengkomunikasikan CSR pemilihan media web memiliki alasan strategis karena “the web also offers organizations the opportunity to design messages that do not have to follow the dictates of gatekeepers as with print and electronic media” (Chaudri & Wang, 2007) serta website memiliki karakteristik sebagai “ongoing and interactive process rather than a static annual product.” Selain itu kebanyakan aktivis atau mereka yang memiliki kepedulian terhadap persoalan CSR akan memantau aktivitas perusahaan dengan mencari lewat websitenya (Welford, 1997).
Menurut James Grunig (1992:285) dalam perkembangannya terdapat empat model komunikasi dalam praktek public relations: 1) Model Publicity or Press Agentry, Model ini PR melakukan propaganda atau kampanye melalui prose komunikasi searah (one way process) untuk tujuan publisitas yang menguntungkan secara sepihak, khususnya menghadapi media massa dan dengan mengabaikan kebenaran informasi sebagai upaya untuk menutupi (manipulasi) unsure-unsur negative dari suatu organisasi; 2) Model Public Information, Dalam hal ini humas bertindak seolah sebagai journalist in resident. Berupaya membangun kepercayaan organisasi melalui proses komunikasi searah dan tidak mementingkan persuasif. Seolah bertindak sebagai wartawan dalam menyebarluaskan publisitas informasi dan berita ke publik. Unsur kebenaran dan obyektivitas diperhatikan; 3) Model Two Way Assimetrical, Pada model ini PR menyampaikan pesan dengan komunikasi dua arah dan berdasarkan riset serta menggunakan strategi komunikasi persuasive. Unsur kebenaran diperhatikan untuk membujuk publik. Kekuatan membangun hubungan dan pengambilan inisiatif didominasi PR; 4) Model Two Way Symmetrical, model komunikasi dua arah yang berimbang. Model ini mampu memecahkan dan menghindari konflik dengan memperbaiki pemahaman publik untuk membangun saling pengertian dukungan dan menguntungkan bagi kedua belah pihak.
Sedangkan bagaimana peran PR dalam konteks CSR, Wilcox (2006:79) menunjukkan beberapa peran spesifik sebagai berikut:

“Establishing a dialogue with various stakeholders; ensuring that the organization does have disclosure and transparency in all of its operations; communicating an organization’s core values around the globe; managing «citizenship» programs on a global and localized basis; monitoring ongoing «issues» and make recommendations to management; researching and writing annual CSR reports for widespread distribution.”

Lingkup kerja PR selalu berhubungan dengan publik atau yang sering disebut juga dengan istilah stakeholders. Stakeholders merupakan setiap kelompok yang berada di dalam maupun di luar perusahaan yang mempunyai peran dalam menentukan keberhasilan perusahaan. Freeman (1984) mendefiniskan stakeholder sebagai ‘any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the firm’s ‘objectives’ ….organization’s success depend on creating real dialogue with its diverse stakeholders, rather than trying to manipulate them.’
Friedman menyarankan public relations perusahaan meninggalkan komunikasi cara lama agar berhasil dalam membangun hubungan dengan pemangku kepentingan. Friedman (dalam Jalal, 2008) menguraikan lima hal yang menurutnya adalah pilar dari komunikasi keberlanjutan itu. Pertama, penyatuan keberlanjutan dalam model bisnis. Kedua, menyangkut berbagai cara untuk memastikan bahwa tujuan keberlanjutan itu memang diterapkan dalam cara-cara turunannya: operasi perusahaan dari hari ke hari. Ketiga, terkait dengan karyawan, yang menurut Friedman harus diikutsertakan dan diberdayakan.  Keempat, menekankan pada pentingnya keuntungan nyata yang dirasakan oleh pemangku kepentingan setempat.  Kelima, adalah memaksimumkan hubungan dengan pemangku kepentingan.  Dalam hal ini yang sangat ditekankan adalah bahwa hubungan tersebut bersifat saling menguntungkan. 
Perkembangan komunikasi tidak memungkinkan lagi bagi suatu organisasi untuk menutup-nutupi suatu fakta. Citra humas yang ideal adalah kesan yang benar, yakni sepenuhnya berdasarkan pengalaman, pengetahuan, serta pemahaman atas kenyataan yang sesungguhnya. Itu berarti citra tidak seharusnya “dipoles agar lebih indah dari warna aslinya”, karena hal itu justru dapat mengacaukannya (Anggoro, 2002). Baudrillard (dalam Haryatmoko, 2008) mengkritik pencitraan karena menurutnya pencitraan mendiskualifikasi kategori kebenaran sehingga tidak bisa lagi dibedakan antara realitas, representasi, simulasi, kepalsuan dan hiperealitas.

METODOLOGI
Analisis wacana sebagai penelitian kritis menekankan pada penafsiran peneliti atas teks. Dengan penafsiran ini, kita dapatkan dunia dalam, masuk menyelami dalam teks dan menyingkap makna yang ada dibaliknya. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model analisis wacana Van Dijk yang menggabungkan analisis struktur teks, kognisi sosial dan konteks sosial sebagai bagian integral (Eryanto, 2001:224).
Dalam penelitian ini, karena keterbatasan peneliti serta waktu penelitian, analisis terutama difokuskan pada analisis teks pada website serta analisis konteks sosial yang melingkupinya, sedangkan analisis kognisi sosial tidak dilakukan.

ANALISIS TEKS
Ketiga perusahaan yang diteliti semuanya memiliki website resmi yang aktif yaitu Freeport di www.ptfi.co.id, Newmont di www.newmont.co.id, dan Inco dengan alamat www.pt-inco.co.id. Website PT Freeport Indonesia (PTFI) informasi CSR dapat ditemukan dalam halaman utama website yang berbentuk hyper text mark up language (HTML) serta dalam laporan pembangunan berkelanjutan dengan format portable document file (PDF). Tema yang dibangun oleh Freeport adalah komitmen pada pembangunan berkelanjutan. Freeport dalam hal ini tidak pernah menggunakan kata tanggung jawab sosial atau CSR tetapi secara konsisten menggunakan istilah ‘pembangunan berkelanjutan’.
Pada website Inco, informasi menyangkut CSR dapat ditemukan pada menú website yaitu lingkungan, kesehatan dan keselamatan, serta tanggung jawab sosial. Dalam menu tanggung jawab sosial terdapat laporan tahunan dan laporan pemberdayaan masyarakat dalam format portable document file (pdf). Tema yang diangkat Inco lebih menekankan pada pemberdayaan masyarakat (community development). Inco memaknai tanggung jawab sosial (CSR) lebih pada kemitraan dan investasi sosial.
Newmont terhitung paling sedikit menampilkan informasi CSR. Dalam web tersebut tidak ditemukan laporan tahunan ataupun laporan CSR seperti halnya pada dua objek lainnya. Informasi CSR yang paling banyak ditemukan pada kategori Perlindungan Lingkungan dan Tanggung Jawab Sosial meliputi: komitmen, program-program, dan penghargaan pada halaman utamanya. Tanggung jawab sosial di Newmont dimaknai sebagai kegiatan sosial mencakup Peningkatan Kesehatan Masyarakat, Pengembangan Pendidikan, Pengembangan Pertanian dan Usaha Lokal, serta Infrastruktur.
Dari segi skematik tampak di peta situs bahwa Freeport mengadopsi unsur dasar CSR yaitu triple bottom line yang tediri dari profit, people dan planet. Skema disini sekali lagi menegaskan keinginan Freeport membangun opini bahwa Freeport memberikan kontribusi dan manfaat pada Indonesia itulah kemudian secara skematik informasi tentang manfaat ekonomi ditempatkan sebagai informasi utama dan paling depan. Inco dan Newmont secara skematik juga menempatkan informasi tanggung jawab sosial pada posisi yang strategis untuk dibaca, namun terdapat perbedaan dalam memaknai ruang lingkup tanggung jawab sosial.
Latar sebagai salah satu elemen semantik dalam website ini cukup banyak digunakan untuk mendukung program dan kebijakan perusahaan. Latar menurut Eryanto (2008:235) dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam teks. Latar juga digunakan untuk menutupi kekurangan perusahaan, seperti contoh dari Freeport berikut ini:
Pengalihan Sungai Ajkwa menuju saluran di antara kedua tanggul tersebut mencegah terjadinya kontak dengan daerah pengendapan tailing sehingga dapat menambah aliran air tawar sepanjang perbatasan timur Timika yang sangat padat dengan penduduk. Hal tersebut juga mengurangi jumlah tailing yang mengalir keluar melalui daerah pengendapan menuju muara estuaria dan Laut Arafura, hingga 25%.  (http://www.ptfi.com)

Kutipan diatas merupakan latar yang digunakan perusahaan sebagai alasan pembenar untuk mengalihkan aliran sungai. Hal ini kontras dengan fakta yang disebutkan Jaringan Advokasi Tambang (2008) bahwa perubahan arah sungai Ajkwa justru menyebabkan banjir, kehancuran hutan hujan tropis dan menyebabkan daerah yang semula kering menjadi rawa.
Sebaliknya, pada kutipan berikut ini Freeport sengaja tidak menjelaskan dengan detail kata ”yang berarti” dalam kalimat pertama dan kedua karena hal ini menyangkut penilaian dampak lingkungan Freeport. Kata ’yang berarti’ merupakan contoh bagaimana sesuatu yang merugikan disajikan secara implisit dan tersembunyi. Kata ’yang berarti’ pada kalimat pertama mengandung makna terdapat risiko tambahan, namun tidak dijelaskan. Kata ’yang berarti’ pada kalimat kedua bermakna bahwa merkuri, arsenik ataupun sianida itu tetap ada dalam jumlah tertentu. Pada contoh ketiga, Freeport juga tidak menjelaskan dan hanya menegasikan isu bahwa Freeport menganggu kelestarian Taman Nasional Lorentz dengan kalimat singkat dan diletakkan diakhir kalimat sehingga tersembunyi.
Dalam rangka memenuhi komitmen kami terhadap AMDAL, Freeport telah melakukan dan menyerahkan Penilaian Risiko Terhadap Lingkungan Hidup secara menyeluruh kepada Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2002, di mana hasilnya tidak ditemukan risiko tambahan yang berarti dari kegiatan operasi kami, selain yang telah diidentifikasi pada AMDAL 300K.

PTFI tidak menggunakan merkuri ataupun sianida dalam setiap proses yang dilakukannya, melainkan menggunakan suatu proses flotasi yang memisahkan secara fisik mineral yang mengandung tembaga dan emas dari bijih. Pemantauan komprehensif yang dilakukan selama bertahun-tahun tetap menunjukkan tidak ditemukannya tingkatan merkuri, arsenik ataupun sianida yang berarti di dalam air, sedimen, ikan atau tumbuh-tumbuhan pada wilayah kegiatan kami.

Wilayah proyek PTFI berada di Propinsi Papua, bersebelahan dengan wilayah Taman Nasional Lorentz.... PTFI tidak melakukan kegiatan di Taman Nasional Lorentz. (http://www.ptfi.com)

Dalam masalah yang cukup sensitif seperti masalah hak asasi manusia berikut ini, digunakan kalimat pasif, bahkan penghilangan subyek. Bentuk kalimat yang seperti ini juga memperlihatkan mana hal yang ditonjolkan sehingga mempengaruhi makna kata secara keseluruhan. Pada contoh pertama, tidak ada subyeknya siapa yang dilaporkan melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), demikian pula dengan contoh kedua.
Kejadian-kejadian yang dilaporkan tersebut termasuk tindakan kriminal dan telah ditangani sebagaimana mestinya. (http://www.ptfi.com)

Jika dilaporkan adanya suatu pelanggaran HAM, informasi mengenai pelanggaran tersebut akan disampaikan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). (http://www.ptfi.com)

Di bagian web yang lainnya, Freeport juga menggunakan koherensi kondisional untuk menekankan citra positif, seperti tampak pada kutipan berikut mengesankan bahwa audit sudah dilakukan berulangkali dan hasilnya sama baiknya:
Audit tersebut pun menyimpulkan, sebagaimana berbagai audit independen sebelumnya, bahwa program pengelolaan tailing PTFI "masih merupakan pilihan pengelolaan tailing yang paling sesuai dengan kondisi topografi dan iklim di lokasi tersebut yang unik, dengan dampak dan risiko terhadap lingkungan yang jauh lebih rendah" dibanding alternatif lain. (http://www.ptfi.com)

Bentuk koherensi lain yang digunakan adalah koherensi pembeda. Koherensi pembeda melihat bagaimana dua hal diperbandingkan dan bagaimana efeknya. Pada contoh berikut bagaimana melalui koherensi kondisional, Freeport memperoleh kesan positif.

Di RS Waa-Banti, yang dibiayai dengan Dana Kemitraan Freeport dan dimiliki LPMAK, standar medisnya sebanding dengan rumah sakit Freeport, begitu pula dengan standar pada rumah sakit terbaik di kota-kota besar Indonesia. Bedanya, sarana tersebut berada pada salah satu daerah yang paling terpencil di negeri ini. (http://www.ptfi.com)

Kalimat diatas menekankan bahwa Freeport telah memberikan pelayanan kesehatan yang sangat baik untuk masyarakat sekitar, karena standarnya sama ketika dibandingkan dengan rumah sakit Freeport dan rumah sakit terbaik lainnya di Indonesia. Ditekankan pula bahwa ini hal yang luar biasa dikerjakan oleh Freeport, karena pembaca kemudian diingatkan bahwa pelayanan itu terjadi di daerah paling terpencil di Indoenesia.
Elemen stilistik menunjukkan bagaimana korporasi melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata menunjukkan sikap dan maksud tertentu. Pada kalimat pertama, Freeport menggunakan eufimisme (penghalusan) istilah menghadapi ‘tantangan kedepan’ untuk menggantikan kelemahan, kekurangan atau pelanggaran. Pada kalimat kedua, Freeport juga menggunakan eufimisme dengan menggunakan istilah Sirsat yang dibuat sendiri untuk menyebut kata tailing. Pada kalimat ketiga menggunakan istilah daerah pengendapan untuk menyebut sungai Ajkwa.
Namun demikian hasil audit tersebut juga mencatat bahwa perusahaan menghadapi tantangan kedepan dalam memenuhi komitmennya untuk mempekerjakan warga Papua. (http://www.ptfi.com)

Salah satu kegiatan PTFI yang bersifat padat sumber daya dan padat karya adalah pengelolaan tailing yang dikenal dengan nama pasir sisa tambang (SIRSAT) – yaitu sisa pasir tambang yang dihasilkan dari pengolahan bijih mineral. (http://www.ptfi.com)

Bahan sirsat juga dimanfaatkan untuk konstruksi tanggul pada Daerah Pengendapan Dimodifikasi Ajkwa (ModADA). (http://www.ptfi.com)

Kalimat berikut merupakan contoh penggunaan istilah teknis yang susah dimengerti orang awam dalam website Inco:
Pada tahun 2002 kami melakukan modifikasi geo-teknis terhadap penampung endapan dari aliran yang membawa limbah dari pabrik pengolahan. Ini memampukan kami untuk mengambil kembali partikel-partikel padat yang telah terkumpul selama bertahun-tahun. (www.pt-inco.co.id)

Melestarikan lingkungan hidup tetap menjadi prioritas tinggi PT Inco. Sebagai contoh, pengujian ketat emisi dari cerobong Tanur Pereduksi No.2 setelah pemasangan separator siklonik dengan rancangan baru memperlihatkan bahwa tingkat debu secara konsisten berada secara sifnifikan dibawah batas yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kami merencanakan untuk memakai teknologi ini juga pada Tanur Pereduksi No.1 dan No. 3. (www.pt-inco.co.id)

Pada contoh berikut, kalimat pertama meminimalkan dampak potensial merupakan penghalusan dari kata pencemaran. Sedangkan pada kalimat kedua dan ketiga dapat kita lihat, pernyataan ’sungguh-sungguh’, dankomitmen’ merupakan upaya Newmont meyakinkan keseriusannya tetapi agak kontras karena ada tambahan kata ’jika memungkinkan’. Pada kalimat keempat dan kelima Newmont sekali lagi meyakinkan bahwa menjalankan praktek terbaik dan sekaligus menegasikan isu telah membuang tailing beracun.
Dokumen ANDAL berisi alternatif terbaik yang dipilih dan disahkan oleh Pemerintah Indonesia serta mencakup semua dampak aspek operasi PTNNT. Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) yang tercakup dalam dokumen ini secara khusus dirancang untuk meminimalkan dampak potensial di Batu Hijau. (www.newmont.co.id)

PTNNT secara sungguh-sungguh melaksanakan program pengelolaan dan pemantauan lingkungan yang sesuai dengan keadaan di lokasi tambang, untuk meminimalkan risiko atau bahaya yang berpotensi merusak lingkungan yang mungkin diakibatkan oleh operasi tambang. (www.newmont.co.id)

Newmont berkomitmen untuk mendorong pembangunan berkelanjutan dan jika memungkinkan memenuhi kebutuhan ekonomi, sosial, dan lingkungan agar pembangunan berkelanjutan menjadi kenyataan. (www.newmont.co.id)

Menjalin kerjasama dalam kemitraan dengan masyarakat dan pemerintah untuk memastikan agar semua program tanggungjawab sosial dilaksanakan melalui proses konsultatif dan partisipatif, dengan menerapkan praktek terbaik, dan sejalan dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan.(www.newmont.co.id)

Tailing yang dihasilkan dari proses pengolahan bijih tembaga dan emas PTNNT tidak berbahaya, tidak beracun dan secara umum memiliki karakteristik yang sama dengan pasir di dasar permukaan laut sekitar pulau Sumbawa. Tailing merupakan bagian yang tersisa dari batuan yang telah digerus sampai halus dan diambil kandungan bijih mineral berharganya. (www.newmont.co.id)

Elemen retorik akan melihat bagaimana penonjolan dilakukan melalui  grafis, visual serta  metafora tertentu. Metáfora mencakup produksi konsep dan pengertian yang bisa merangkul dan menyedot perhatian khalayak untuk mendukung perusahaan. Contoh penggunaan metafora terlihat pada kutipan berikut:

Di PT Inco, para karyawan kami mengubah wajah pertambangan
(www.pt-inco.co.id)

Kami mendengar maka kami ada

Dalam kaitan ini, kami tidak semata-mata mengandalkan penilaian kami sendiri, oleh karena dalam pengalaman kami, sangatlah berharga melihat program kami dengan "sepasang mata baru" melalui audit independen.

Kita akan menjadi perusahaan tambang yang paling dihargai dan dihormati melalui pencapaian kinerja terdepan dalam industri tambang. (www.newmont.co.id)


ANALISIS SOSIAL
CSR yang dilakukan masih terfokus pada pengembangan masyarakat dan donasi, dan belum secara lengkap mengimplementasikan model pyramid Carrol (1991) secara utuh, yaitu tanggungjawab ekonomis, tanggungjawab legal, tanggung jawab etis serta tanggungjawab filantropis.
Upaya membangun dialog dengan semua stakeholder dalam CSR belum maksimal. Kemitraan yang diklaim juga masih terasa sekedar retorika karena masih berupa pernyataan sepihak perusahaan tanpa disertai konfirmasi dari stakeholder. Dalam teks menyangkut persoalan lingkungan misalnya terlihat bahwa ketiganya tidak ‘mendengar’ suara publik tetapi lebih suka memaparkan kebijakan sesuai kemauan perusahaan. Demikian juga dengan aspek-aspek CSR lainnya, sangat minim ‘suara’ stakeholder ditampilkan, apalagi dari pihak yang kritis seperti dari NGO atau media.
Upaya public relations yang dibangun masih belum menggunakan Two Way Symmetrical Model, dimana model ini sebenarnya akan mampu memecahkan dan menghindari konflik dengan memperbaiki pemahaman publik untuk membangun saling pengertian dukungan dan menguntungkan bagi kedua belah pihak (Grunig, 1992). Komunikasi yang terbangun melalui website masih merupakan bentuk satu arah dimana perusahaan mendominasi wacana. Perusahaan tidak berupaya mendesain website secara optimal sebagai ruang publik yang memiliki potensi interaktivitas, sehingga informasi terkait CSR tidak hanya bersumber dari satu pihak perusahaan saja. Hal ini membuktikan terjadinya hegemoni, dimana terjadi minimalisme ruang publik. Padahal seperti internet menawarkan potensi komunikasi yang lebih terdesentralisasi dan lebih demokratis dibandingkan media massa sebelumnya.

PENUTUP
Penyajian informasi CSR dalam ketiga website pertambangan yang diteliti menggunakan wacana secara strategis untuk membangun opini positif perusahaan. Semua elemen wacana yaitu tematik, skematik, semantik, sintaksis, stilistik serta retorik ditemukan dalam pembacaan terhadap teks informasi CSR dalam website ketiga perusahaan. Namun demikian ketiganya memiliki perbedaan tematik dan skematik. Sedangkan dalam hal semantik, sintaksis, stilistik serta retorik ketiganya hampir sama, menggunakan kalimat dan kata untuk menonjolkan hal-hal yang dianggap positif serta menyembunyikan atau menghilangkan hal-hal yang negatif, kritik, mengandung risiko dan merugikan perusahaan.
Komunikasi, baik dalam proses pelaksanaan CSR maupun dalam melakukan informasi/publikasi CSR idealnya melibatkan (involving) stakeholders, dengan menerapkan two way communication model serta prinsip komunikasi Habermasian yang mendorong prinsip kesetaraan dan emansipatoris.


DAFTAR PUSTAKA

Achwan, Rochman. 2006. CSR: Pertikaian Paradigma dan Arah Perkembangan dalam Galang Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani Vol 1, No 2, Januari 2006
Adian, Donny Gahral. 2001. Arus Pemikiran Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra
Chaudri, Vidhi & Wang Jian. 2007. Communicating CSR on the Internet: A Case Study of the top 100 IT Companies in India. Management Communication Quarterly,21,232-247
Carroll, Archie B. 1991. Corporate Social Responsibility: Evolution of a Definitional Construct. Business Society, 38, 268-295.
Cutlip, Scott M.  dan Center, Allen H. 2000. Effective Public Relations. Prentice Hall.
Eryanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisa Teks Media. Yogyakarta:LKIS
Freeman, R. Edward. 1984. Strategic Management: A Stakeholder Approach. Boston: Pitman
German, Kathleen M. 1995. Critical Theory in Public Relations Inqury Future Direction for Analysis in a Public Relations Context. dalam Elwood, William N. Public Relations Inquiry as Rhetorical Criticism Case Studies of Corporate Discourse and Social Influnce. Wesport Conecticut London: Praeger
Grunig, James E. 1992. Excellent in Public Relations & Communication Mangement. New Jersey: Lawrence Associate
Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik di Media sebuah studi Critical Discourse Analysis. Jakarta: Granit
Haryatmoko. 2008. Etika Komunikasi Manipulasi Media, Kekerasan dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius
Jahja, Rusfadia S. Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan CSR Perusahaan Ekstraktif dalam Galang Jurnal Filantropi dan Masyarakat Madani Vol.1 No. 2, 22-35
Jalal. Komunikasi Keberlanjutan, Kehumasan Gaya Baru diakses dari http://www.csrindonesia.com/data/resensi/20080319100029-resdoc.pdf
Severin, Werner J. & Tankard, James W. 2005. Teori Komunikasi Sejarah, Metode, dan Terapan di dalam Media Massa. Jakarta: Prenada Media
Tanaya, Jimmy. 2004. Tanggung Jawab Sosial Korporasi. Surakarta: The Business Watch Indonesia
Wilcox, Dennis. 2006. The Landscape of Todays Global Public Relations. Analisi 34

Tidak ada komentar:

Posting Komentar